Tentang Menghidupkan Kepekaan Rasa
Tadinya saya ingin menuliskan ini sebagai pengingat untuk diri sendiri. Tapi, setelah dipikir-pikir, sepertinya baik juga kalau bisa berbagi. Siapa tau ada hikmah yang bisa dipetik dari kejadian yang saya alami.
---
Rabu kemaren, sepulang sekolah Si Adek buru-buru ke kamar mandi. Teman-temannya menunggu di teras. Saya tahu, siang itu mereka akan mengerjakan tugas kelompok.
"Ma, ada teman-teman di depan. Fal mandi dulu ya.. badan gatal-gatal" teriaknya dari kamar mandi.
"Gatal kenapa, Dek?"
Saya sudah sedikit curiga. Sekilas tadi wajahnya tampak tak biasa. Apalagi nggak biasanya dia langsung mandi gitu.
"Digigit binatang ya?"
Dia nggak menjawab.
Saya temui temannya di teras.
Nggak lama Adek keluar. Mereka pamit pergi ke rumah seorang teman yang tinggal tak jauh dari rumah. Beberapa kali dia pulang ke rumah untuk mengambil bahan praktek yang ketinggalan. Saya menangkap kecemasan di wajahnya. Tapi, saya tak bertanya. 😔
Sekitar jam 5 sore, Adek pulang dan langsung ke kamar mandi. Kali ini lebih lama. Saya ngomel dan bilang jangan lama-lama di kamar mandinya.
Selesai mandi.
"Ma, tolong liatkan punggung, Ma, dari tadi perih banget. Gatalnya nggak nahan. Pengen dicakar-cakar rasanya"
Saya menarik handuk dari punggungnya. Seketika rasanya mau pingsan.
"Allahu Akbar.. Adeeeek. Kenapa punggungnya?"
Separuh bagian punggung dan bahu meruam, merah dan menebal. Bintik bintik kecil seperti gelembung yang berisi air menyebar di beberapa tempat. Sebagian terlihat lecet. Sebagian lagi seperti kulit yang mengering. Ada dua luka lecet yang agak dalam. Meski hanya setengah senti, tapi melekuk ke dalam. Saya serap air yang terperangkap di dalamnya dengan tisu.
Badan saya terasa lemas.
"Tadi di sekolah, kesenggol botol cairan pembersih. Lupa namanya. Pokoknya ada stek-stek gitu.."
"P*rst*x?" Tanya saya
"Iya.., itu" dia mengangguk.
"Abis itu gak Adek siram?"
'Enggak, soalnya buru-buru. Udah dipanggil-panggil disuruh cepat kumpul sholat jemaah di masjid" jawabnya.
"Jadi, Adek sholat dengan baju basah itu"
"Iya. Trus pas sholat rasanya panas, perih"
Duh, rasanya lemas membayangkan apa jadinya kulit bersentuhan dengan baju basah dalam waktu yang cukup lama. Kalau cuma air gak masalah. Tapi ini dikompres dengan cairan pembersih.
"Dek, yuk ke kamar mandi lagi. Kita siram dulu"
Sumpah, saya nggak tau harus berbuat apa. Saya hanya ingat, bila cairan pembersih terkena kulit, harus disiram dengan air mengalir. Tapi harusnya saat itu juga.
Lah, ini.. kejadiannya sudah beberapa jam. Sudah sangat terlambat.
Saya menyesali diri, kenapa saya lupa mengajarkan tentang pertolongan pertama kalau terkena benda berbahaya, apalagi yang mengandung bahan kimia.
Saya lupa menanamkan bahwa keselamatan lebih penting dari segalanya. Segala aktivitas bisa menunggu. Harusnya dia bisa minta ijin pulang ke rumah. Harusnya dia nggak takut ketinggalan pelajaran.
Harusnya dia tau kalau dia begitu berharga.
Ibu macam apa saya ini!
Ada kali sekitar 15 menit, punggungnya saya biarkan di bawah air mengalir. Saya sampai lupa, kalau sebelumnya kan dia sudah mandi. Bahkan sudah dua kali.
Ketika saya tutup punggungnya dengan handuk, dia mengaduh.
Duh, Nak, rasanya dada mama penuh 😢
Dari kamar Si Kakak datang sambil bawa hp.
"Ma, itu bahaya kalau dibiarkan. Bisa infeksi. Trus bernanah"
Kakak menyodorkan hp. Saya membaca hasil browsingnya.
Seketika kecemasan saya semakin meninggi. Ngeri! Kami segera ke rumah sakit terdekat.
Waktu terasa lama.
Di ruang tunggu, sesekali Adek meringis kalau punggungnya gak sadar menyentuh sandaran kursi.
Saya mengajaknya ngobrol. Sekadar mengalihkan keinginannya untuk menggaruk punggung. Kalau bosan, dia main game. Kalau gatal tak tertahankan dia menggenggam tangan saya dengan erat.
Hampir dua jam menunggu, baru namanya dipanggil. Kami maju. Dokter memeriksa punggungnya. Dan menginstruksikan perawat untuk melakukan penanganan terhadap lukanya. Nantinya akan dikasih obat dan salep untuk perawatan di rumah.
Alhamdulillah, kata dokter nggak apa-apa.
Punggung Adek dibersihkan dan dikompres dengan perban yang diberi cairan yang saya lupa namanya.
Katanya perih. Tanpa dikasitau pun saya bisa menduga pasti rasanya perih. Terlihat dari caranya meremas alas tempat tidur.
Seorang Ibu mendekat sambil tersenyum. Sedikit berbisik, dia bilang "saya pikir anak saya aja yang kurus!"
Tenggorokan saya tercekat. Tapi, saya paksakan tersenyum. Dia lanjut cerita tentang aktivitas anak sekolah dan lainnya. Tapi, hati saya terlanjur patah. Saya sibuk menduga kata-katanya. Apakah maksudnya anak saya lebih kurus daripada anaknya?
Huft, saya menghela napas. Jujur, malam itu perasaan saya sedang kacau. Saya sedang merasa gagal menanamkan betapa pentingnya untuk bertindak cepat dalam kondisi darurat. Saya juga menyesal mengapa tak bertanya lebih jauh, saat menangkap ada kecemasan di wajah Adek. Saya mengabaikan kepekaan rasa. Naluri seorang Ibu yang mencium ada sesuatu yang tidak beres.
Dan sekarang, ditambah lagi dengan rasa gagal membesarkan anak dengan baik. Anak saya kurus!
Saya seka kedua ujung mata saya yang basah. Saya pandangi badannya yang baru beranjak remaja. Beberapa bulan ini, tingginya memang melesat. Kaki panjangnya membuat semua celana ngatung dan harus diganti dengan yang baru. Kami semua bahagia melihatnya tumbuh tinggi. Meski sesekali juga pernah menertawakan kelangsingannya.
"Ma.. " Adek memanggil saya.
Saya mendekatkan kepala.
"Ma.. kasian ya, Novel Baswedan. Di punggung aja sakitnya kayak gini. Apalagi di mata. Nggak kebayang itu sakitnya gimana"
Masya Allah, seketika saya tersadar. Sesungguhnya anak saya masih dilindungi dari bahaya yang lebih besar. Bisa saja kan, cairan itu tumpah ke bagian lain. Naudzubillah.
Saya mengucap syukur. Syukur yang teramat dalam.
Saya yakin, ada hikmah dan pelajaran di balik kejadian ini. Adek pastinya akan lebih berhati-hati lagi. Nggak grasa grusu dalam melakukan sesuatu. Insya Allah, pelajaran mahal ini akan dia bawa sebagai pengalaman hidup.
Pelajaran lainnya adalah soal menghidupkan lagi kepekaan rasa. Peka terhadap sesuatu yang tak biasa dan peka juga pada perasaan orang lain.
Bila tak bisa mengucap kata-kata yang membawa kesejukan, lebih baik diam.
Tahan diri atau doakan dalam diam.
Jangan sampai ada hati yang patah karena lisan yang salah berucap. Meski maksudnya bukan untuk menyudutkan.
Salah persepsi sudah sangat sering terjadi, kan..
Oh ya, saat menulis ini, alhamdulillah punggung Adek sudah membaik. Gelembung-gelembung kecil yang berisi air sudah mengering dan lenyap. Rasa gatalnya juga sudah hilang. Alhamdulillah, benar-benar nggak nyangka akan pulih secepat ini.
Terima kasih untuk semua teman-teman yang mendoakan. Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah ya..
(Aamiin)
Aku mewek bacanya.... Sehat terus ya Naufal, doa dari kami semua.
ReplyDeletePeluk mbak Waya, jangan takut gak peka dan jadi ibu yang gagal hanya karena anak dikatakan kurus, mbak... Aku tau kok gimana mbak Waya berjuang untuk keluarga. You're a great mom��
Terima kasih Sally. Sungguh jadi penyemangat buat aku.
DeleteAlhamdulillah sekarang sudah baikan. Cuma harus rajin olesin lotion buat ngilangin bekasnya.
Ya Alloh, semoga semakin membaik ya mbaa
ReplyDeleteAlhamdulillah, sekarang sudah membaik. Makasih doanya ya :)
DeletePeluuuukkk.
ReplyDeleteHuhuuu, terima kasih Mawii.. *peluuuk
DeleteBaca ini mengingatkan saya agart lebih peka sebagai ibu dan behati-hati juga, soalnya saya masih ada sikap lengah terhadap anak. Apalagi jika anak tak terbuka. Sedih banget, ya, jika anak sampai celaka gitu.
ReplyDeleteSaya miris bayanginnya, Mbak. Soalnya saya juga pernah alami hal demikian pada kasus lain. Itu bikin saya sangat memnyesal.
Salut ade kuat dan punya hati yang lembut. Semoga saja ia kian waspada pada hal tak terduga di sekitar.
Saya juga harus tanamkan pengertian pada anak saya untuk hati-hati.
Semoga anak-anak kita dijaga Allah, ya, Mbak. dan kita tetap jangan lengah.
Aamiin, Iya, Mbak. Dan ini jadi pelajaran banget buat aku. Jangan pernah lengah. Beneran nyesel deh, nggak peka.
DeleteTerima kasih sudah berkunjung ya.